Minggu, 18 Januari 2015

Sound System Untuk Ibadah Dalam Gereja


Esensi Dari Ibadah Kristiani
          
       Banyak orang pergi beribadah ke gereja tanpa menyadari esensi dari ibadah di dalam gereja itu sendiri. Menyembah, memuliakan Tuhan dan mendengarkan pesan Tuhan melalui hambaNya adalah esensi yang utama dari ibadah itu sendiri, disamping merasakan kedekatan dengan Tuhan di dalam rumahNya. Liturgi dalam gereja selalu diawali dengan pujian dan penyembahan, dengan berbagai macam instrumen pengiring, mulai dari organ hingga alat musik tradisional. Setelah pujian dan penyembahan akan di sambung dengan pesan pemimpin gereja atau khotbah, dan diakhiri dengan penutup. Semua ini berlangsung pada satu tempat yaitu mimbar atau untuk agama Katholik disebut dengan altar.
             Sudah barang tentu sepanjang ibadah berlangsung maka fokus dari seluruh jemaat atau umat mengarah ke satu tempat yaitu ke arah mimbar di mana semua tata cara ibadah berlangsung. Di dalam kitab perjanjian lama banyak dituliskan menganai tata letak dari kemah suci dan bait Allah, dan sudah diatur tempat di mana Imam Besar dapat masuk dan batas di mana umat Israel berada.
            Yang menarik untuk diperhatikan adalah dalam Daniel 6 : 10, Daniel berdoa sambil membuka jendela ke arah ke Yerusalem, mengapa Daniel melakukan ini? Ia ingin memfokuskan diri, secara hati, pikiran dan fisiknya untuk tujuan utamanya, yaitu berdoa untuk bangsanya dan kota Yerusalem. Didalam Kitab Keluaran banyak dibahas soal aturan pembangunan kemah suci, inilah yang menjadi awal konsep dari pada ibadah Kristiani, Mesbah di mana tepat suci bagi imam untuk mempesembahkan korban bakaran, mesbah ini yang menjadi fokus dalam ibadah Bangsa Israel. Demikian pula dengan gereja modern pada saat ini, pada saat ibadah berlangsung dapat dipastikan kita duduk mengarah ke arah mimbar, dan bukan hanya sekedar bermaksud memposisikan diri ke arah mimbar, melainkan juga mengarahkan hati dan pikiran kepada Tuhan.

Fokus ke Arah Mimbar
            
             Kami sekeluarga pernah mengikuti ibadah di Gereja Vineyard di Auckland New Zealand, oleh karena jemaatnya banyak yang berasal dari negara kepulauan sekitar New Zealand. Dengan gayanya yang santai, namun tetap tertib, kami bisa duduk di lantai bersama dengan anak-anak, atau di kursi. Namun sepanjang ibadah berlangsung tetap kami memfokuskan diri ke arah mimbar.
                Gereja modern saat ini menggunakan alat bantu dalam bentuk sound system dan multi media dalam peribadatan. Namun sayang, sering kali justru alat bantu ini malah mengganggu fokus jemaat ke arah mimbar. Manusia terdiri dari tubuh, jiwa dan roh, ketiganya ini harus bersatu pada saat kita beribadah. Apa yang kita pergunakan untuk memahami apa yang dipresentasikan oleh alat bantu peribadatan tadi, panca indera.
           Suara yang dihasilkan sound system akan ditangkap telinga yang sebagai bagian dari panca indera yang digunakan untuk mendengar suara. Seringkali suara sound system yang terdengar di dalam gereja terdengar bising, bergaung (dengan alasan akustik yang buruk), atau bahkan terdengar dari belakang kepala jemaat. Mengapa demikian?

Salah Memposisikan Speaker

               Banyak orang memasang speaker dengan cara mudah saja, dengan menggunakan tiang kaki tiga ataupun bracket untuk tembok. Penempatan di mana saja yang dirasa kurang, bahkan di belakang dekat dengan jajaran kursi paling belakang. Penempatan dengan bracket pada dinding, akan mengakibatkan bagian tengah menjadi terasa kosong, dan ada suara yang dipantulkan oleh dinding. Penempatan speaker dengan menggunakan tiang kaki tiga, menimbulkan masalah lainnya, seperti suara yang banyak dipantulkan oleh plafon, sehingga kembali ke arah jemaat seperti gaung kesannya. Tempat untuk kedudukan kaki tiga juga membuat masalah, karena memakan ruang dan berbahaya jika tertarik kabel speakernya dapat roboh. Masalah lainnya dari kedua cara ini adalah, ketika jemaat yang duduk dibagian belakang merasa kurang mendengar, maka akan ada permintaan untuk menaikkan volume suara. Ke arah bagaian belakang tentu saja dirasakan cukup, tetapi di bagian depan menjadi terlalu keras dan bising. Seperti sudah kita ungkapkan di atas sebelumnya bahwa maslaah gangguan pendengaran di dalam gereja adalah gaung, bising, dan suara yang tidak fokus.
               Lalu harus bagaimana? Kita harus menggantungnya di tengah jajaran kursi, sehingga pas membagi jajaran kursi ke arah kiri dan kanannya. Dengan menggantung speaker dan mengarahkannya ke arah jemaat, kita sudah menjadikan jemaat sebagai bahan akustik dan ini mengurangi energi yang terbuang ke arah di mana tidak ada jemaat, seperti dinding dan plafon. Kedua bagaimana kalau gedung terlalu panjang, pasti suara speaker yang kita gantung akan kurang terdengar, satu-satunya cara adalah menambahkan speaker di area yang mulai dirasakan speaker utama yang tergantung di depan telah dirasakan agak berkurang.
       Pada bagian lain dari blog ini telah disingung soal gaung di dalam gedung gereja, memang dapat dikurangi oleh pengukuran dengan menggunakan komputer. Namun tidak dapat dihilangkan sepenuhnya, kemudian suasana ruang (ambience) tetap diperlukan, mengingat salah satu bagian dari desain gereja tradisional adalah adanya gaung ruangan yang menimbulkan kesan megah, memang ini disebabkan karena pada saat desain gedung tersebut dibuat masih mengandalkan suara tanpa pengeras suara. Memang gaung dalam gedung gereja yang berlebihan tidak kita inginkan, tetapi kita juga tidak ingin merasa beribadah di dalam sebuah kotak kecil, melainkan di dalam "ruang". Oleh karena itu kita harus mengakali letak speaker agar tetap membuat jemaat fokus ke arah mimbar dan mengukur gaung yang terjadi di dalam ruangan setelah ada speaker.

Mendekatkan Mimbar dan Hubungannya Dengan Peletakkan Speaker

       Gereja modern memang suadah tidak lagi mengandalkan bagunan yang tinggi dan megah, melainkan lebih kepada bangunan sederhana untuk fungsi ibadah. Dengan adanya alat bantu di dalam gereja modern, bertujuan untuk mendekatkan mimbar kepada jemaat, bahkan ada beberapa gereja yang membuat mimbarnya berada di tengah jemaat. Saya pada saat memasang instalasi sound system untuk gereja Katholik di Lampung sempat berbincang dengan seorang romo, lalu saya bertanya, mengapa gereja katholik yang sedang dibangun ini tidak berbentuk seperti salib, seperti pada umumnya gereja Katholik yang dibangun sebelumnya. Kemudian beliau menjawab, gereja Katholik yang baru dibangung saat ini banyak mengubah bentuk gereja dari bentuk seperti salib, menjadi bentuk segi 8 atau 6. Hal ini bertujuan untuk mendekatkan jarak altar dengan umat, sehingga romo atau pastur tidak berjarak dengan umat, melainkan dekat dengan umat, kesan inilah yang ingin ditimbulkan dengan membuat gedung berbentuk segi 8 atau segi 6.
    
   
         Kemudian saya berpikir, bagaimana penerapan konsep ini pada semua gereja, bahwa mimbar tidak lagi terasa “jauh” di sana. Tentu saja gereja besar yang menggunakan sound sistem yang bersuara benar dan baik, dengan mudah mengakomodasi kebutuhan ini, namun bagaimana untuk gereja kecil? Inilah letak permasalahannya, gereja kecil sudah barang tentu tidak mampu membeli peralatan yang baik kualitasnya. Dapatkah sound sistem dengan harga yang terjangkau mengakomodasi kebutuhan ini? Tentu saja dapat, selama secara teknik respon fasa dari komponen-komponennya menyambung.Banyak pendapat mengatakan yang penting suara speaker "flat" secara respon suaranya. Ternyata bukan hanya frekuensi responnya saja yang harus flat, melainkan juga fasa dari komponen-komponen setiap speaker harus menyambung dan tanpa gangguan, maka baru suara speaker dapat di dengar pada area di depan speaker secara merata.

Memfokuskan Suara Speaker

     Dapatkah suara di dalam gereja kita fokuskan? Tentu saja dapat, kita dapat memfokuskan suara speaker dengan mengukurnya berdasarkan suara apa yang datang paling lambat. Sudah barang tentu suara yang berasal dari mimbar adalah suara yang akan datang paling terakhir, suara ini dapat kita jadikan acuan untuk membuat semua suara speaker seolah-olah berasal dari mimbar. Pengukuran ini tidaklah mudah karena harus menggunakan software komputer, dan kemudian di arahkan seolah-olah berasal dari mimbar. Pengalaman saya sendiri, selama 14 tahun, 1998 – 2012, saya tidak pernah mengerti bagaimana caranya, padahal software komputer yang saya pergunakan sampai hari ini masih tetap sama, ini dikarenakan pemahaman konsep membacanya yang baru saya kuasai setelah melatih diri dan memperdalamnya lebih lagi.