Esensi Dari Ibadah Kristiani
Banyak orang pergi beribadah ke gereja
tanpa menyadari esensi dari ibadah di dalam gereja itu sendiri. Menyembah, memuliakan Tuhan dan
mendengarkan pesan Tuhan melalui hambaNya adalah esensi yang utama dari ibadah itu sendiri, disamping merasakan kedekatan dengan Tuhan di dalam rumahNya. Liturgi dalam gereja selalu
diawali dengan pujian dan penyembahan, dengan berbagai macam instrumen
pengiring, mulai dari organ hingga alat musik tradisional. Setelah pujian dan
penyembahan akan di sambung dengan pesan pemimpin gereja atau khotbah, dan
diakhiri dengan penutup. Semua ini berlangsung pada satu tempat yaitu mimbar
atau untuk agama Katholik disebut dengan altar.
Sudah barang tentu sepanjang ibadah
berlangsung maka fokus dari seluruh jemaat atau umat mengarah ke satu tempat
yaitu ke arah mimbar di mana semua tata cara ibadah berlangsung. Di dalam kitab
perjanjian lama banyak dituliskan menganai tata letak dari kemah suci dan bait
Allah, dan sudah diatur tempat di mana Imam Besar dapat masuk dan batas di mana
umat Israel berada.
Yang menarik untuk diperhatikan
adalah dalam Daniel 6 : 10, Daniel berdoa sambil membuka jendela ke arah ke
Yerusalem, mengapa Daniel melakukan ini? Ia ingin memfokuskan diri, secara
hati, pikiran dan fisiknya untuk tujuan utamanya, yaitu berdoa untuk bangsanya
dan kota Yerusalem. Didalam Kitab Keluaran banyak dibahas soal aturan pembangunan
kemah suci, inilah yang menjadi awal konsep dari pada ibadah Kristiani, Mesbah di mana tepat
suci bagi imam untuk mempesembahkan korban bakaran, mesbah ini yang menjadi fokus
dalam ibadah Bangsa Israel. Demikian pula dengan gereja modern pada saat ini, pada saat ibadah berlangsung dapat dipastikan kita
duduk mengarah ke arah mimbar, dan bukan hanya sekedar bermaksud memposisikan diri ke arah
mimbar, melainkan juga mengarahkan hati dan pikiran kepada Tuhan.
Fokus ke Arah Mimbar
Kami sekeluarga pernah mengikuti
ibadah di Gereja Vineyard di Auckland New Zealand, oleh karena jemaatnya banyak
yang berasal dari negara kepulauan sekitar New Zealand. Dengan gayanya yang
santai, namun tetap tertib, kami bisa duduk di lantai bersama dengan anak-anak,
atau di kursi. Namun sepanjang ibadah berlangsung tetap kami memfokuskan diri ke
arah mimbar.
Gereja modern saat ini menggunakan
alat bantu dalam bentuk sound system dan multi media dalam peribadatan. Namun sayang,
sering kali justru alat bantu ini malah mengganggu fokus jemaat ke arah mimbar.
Manusia terdiri dari tubuh, jiwa dan roh, ketiganya ini harus bersatu pada saat
kita beribadah. Apa yang kita pergunakan untuk memahami apa yang
dipresentasikan oleh alat bantu peribadatan tadi, panca indera.
Suara yang dihasilkan sound system akan
ditangkap telinga yang sebagai bagian dari panca indera yang digunakan untuk mendengar
suara. Seringkali suara sound system yang terdengar di dalam gereja terdengar bising, bergaung (dengan alasan akustik yang
buruk), atau
bahkan terdengar dari belakang kepala jemaat. Mengapa demikian?
Salah Memposisikan Speaker
Banyak orang memasang speaker
dengan cara mudah saja, dengan menggunakan tiang kaki tiga ataupun bracket
untuk tembok. Penempatan di mana saja yang dirasa kurang, bahkan di belakang
dekat dengan jajaran kursi paling belakang. Penempatan dengan bracket pada dinding,
akan mengakibatkan bagian tengah menjadi terasa kosong, dan ada suara yang
dipantulkan oleh dinding. Penempatan speaker dengan menggunakan tiang kaki tiga,
menimbulkan masalah lainnya, seperti suara yang banyak dipantulkan oleh plafon,
sehingga kembali ke arah jemaat seperti gaung kesannya. Tempat untuk kedudukan
kaki tiga juga membuat masalah, karena memakan ruang dan berbahaya jika tertarik
kabel speakernya dapat roboh. Masalah lainnya dari kedua cara ini adalah,
ketika jemaat yang duduk dibagian belakang merasa kurang mendengar, maka akan ada
permintaan untuk menaikkan volume suara. Ke arah bagaian belakang tentu saja
dirasakan cukup, tetapi di bagian depan menjadi terlalu keras dan bising.
Seperti sudah kita ungkapkan di atas sebelumnya bahwa maslaah gangguan
pendengaran di dalam gereja adalah gaung, bising, dan suara yang tidak fokus.
Lalu harus bagaimana? Kita harus
menggantungnya di tengah jajaran kursi, sehingga pas membagi jajaran kursi ke
arah kiri dan kanannya. Dengan menggantung speaker dan mengarahkannya ke arah
jemaat, kita sudah menjadikan jemaat sebagai bahan akustik dan ini mengurangi energi
yang terbuang ke arah di mana tidak ada jemaat, seperti dinding dan plafon.
Kedua bagaimana kalau gedung terlalu panjang, pasti suara speaker yang kita
gantung akan kurang terdengar, satu-satunya cara adalah menambahkan speaker di
area yang mulai dirasakan speaker utama yang tergantung di depan telah
dirasakan agak berkurang.
Pada bagian lain dari blog ini telah disingung soal gaung di dalam gedung gereja, memang dapat dikurangi oleh
pengukuran dengan menggunakan komputer. Namun tidak dapat dihilangkan
sepenuhnya, kemudian suasana ruang (ambience) tetap diperlukan, mengingat salah
satu bagian dari desain gereja tradisional adalah adanya gaung ruangan yang menimbulkan
kesan megah, memang ini disebabkan karena pada saat desain gedung tersebut
dibuat masih mengandalkan suara tanpa pengeras suara. Memang gaung dalam gedung
gereja yang berlebihan tidak kita inginkan, tetapi kita juga tidak ingin merasa
beribadah di dalam sebuah kotak kecil, melainkan di dalam "ruang".
Oleh karena itu kita harus mengakali letak speaker agar tetap membuat jemaat
fokus ke arah mimbar dan mengukur gaung yang terjadi di dalam ruangan setelah
ada speaker.
Mendekatkan Mimbar dan Hubungannya
Dengan Peletakkan Speaker
Gereja modern memang suadah tidak
lagi mengandalkan bagunan yang tinggi dan megah, melainkan lebih kepada
bangunan sederhana untuk fungsi ibadah. Dengan adanya alat bantu di dalam gereja modern,
bertujuan untuk mendekatkan mimbar kepada jemaat, bahkan ada beberapa gereja yang
membuat mimbarnya berada di tengah jemaat. Saya pada saat memasang instalasi
sound system untuk gereja Katholik di Lampung sempat berbincang dengan seorang romo, lalu saya bertanya, mengapa gereja katholik yang sedang dibangun ini
tidak berbentuk seperti salib, seperti pada umumnya gereja Katholik yang
dibangun sebelumnya. Kemudian beliau menjawab, gereja Katholik yang baru
dibangung saat ini banyak mengubah bentuk gereja dari bentuk seperti salib,
menjadi bentuk segi 8 atau 6. Hal ini bertujuan untuk mendekatkan jarak altar
dengan umat, sehingga romo atau pastur tidak berjarak dengan umat, melainkan
dekat dengan umat, kesan inilah yang ingin ditimbulkan dengan membuat gedung
berbentuk segi 8 atau segi 6.
Kemudian saya berpikir, bagaimana
penerapan konsep ini pada semua gereja, bahwa mimbar tidak lagi terasa “jauh”
di sana. Tentu saja gereja besar yang menggunakan sound sistem yang bersuara
benar dan baik, dengan mudah mengakomodasi kebutuhan ini, namun bagaimana untuk gereja
kecil? Inilah letak permasalahannya, gereja kecil sudah barang tentu tidak mampu membeli peralatan yang
baik kualitasnya. Dapatkah sound sistem dengan harga yang terjangkau mengakomodasi kebutuhan ini? Tentu
saja dapat, selama secara teknik respon fasa dari komponen-komponennya
menyambung.Banyak pendapat mengatakan yang penting suara speaker "flat" secara respon suaranya. Ternyata bukan hanya frekuensi responnya saja yang harus flat, melainkan juga fasa dari komponen-komponen setiap speaker harus menyambung dan tanpa gangguan, maka baru suara speaker dapat di
dengar pada area di depan speaker secara merata.
Memfokuskan Suara Speaker
Dapatkah suara di dalam gereja
kita fokuskan? Tentu saja dapat, kita dapat memfokuskan suara speaker dengan
mengukurnya berdasarkan suara apa yang datang paling lambat. Sudah barang tentu
suara yang berasal dari mimbar adalah suara yang akan datang paling terakhir, suara ini dapat kita
jadikan acuan untuk membuat semua suara speaker seolah-olah berasal dari
mimbar. Pengukuran ini tidaklah mudah karena harus menggunakan software
komputer, dan kemudian di arahkan seolah-olah berasal dari mimbar. Pengalaman
saya sendiri, selama 14 tahun, 1998 – 2012, saya tidak pernah mengerti bagaimana
caranya, padahal software komputer yang saya pergunakan sampai hari ini masih
tetap sama, ini dikarenakan pemahaman konsep membacanya yang baru saya
kuasai setelah melatih diri dan memperdalamnya lebih lagi.